Dulu kami sekantor. Entah bagaimana awalnya, kami selalu bersama, berlima. Dini salah satunya.
Kami sering makan siang bersama. Lembur bersama. Liburan juga bersama. Kompak. Teman2 menyebutnya Geng Lima.
Saya satu2nya anak kost. Sering berkunjung ke rumah teman2. Atau diajak mampir. Sehingga mengenal keluarga mereka.
Ketika ayah Dini sakit, saya ikut bergadang menemani, di rumah sakit.
Waktu itu Dini tengah menyelesaikan tugas sarjana. Banyak sekali coretan dosen pada draft skripsinya.
Saya menawarkan bantuan. Agar ia fokus merawat ayahnya. Ia cukup menjelaskan maksud coretan itu, saya merapikan ketikan untuknya. Kami menjadi lebih dekat. Juga dg keluarganya. Kalau ada acara keluarga besar itu, saya sering diikutsertakan. Seksi sibuk, kata mereka.
Saya juga sering dapat titipan salam atau oleh2. Dari keluarga mereka yg tinggal di beberapa daerah, atau di luar negeri.
Mereka adalah keluarga yg baik. Penuh perhatian. Meskipun bukan beragama Islam, Dini suka mengingatkan sholat. Kalau saya menyetirkan keluar kota, keluarganya juga akan menyampaikan untuk tidak sungkan ketika waktu sholat datang. Mereka tidak berkeberatan sejenak menunggu di mobil.
Ada satu hal yg tidak pernah saya lakukan untuk mereka: mengucapkan selamat natal. Tapi saya merasakan itu bukan persoalan. Mereka tidak pernah menanyakan, atau menyinggungnya.
Hampir dua tahun kemudian, saya pindah. Persahabatan Geng Lima terus berjalan. Makin erat. Juga ketika Dini menikah. Saya kembali menjadi seksi sibuk. Sebagai jomblo terakhir diantara kami, saya punya banyak waktu untuk membantu. Namun, kemudian perjalanan hidup tak selalu seiring sejalan dg harapan.
Dini berpisah dg suaminya. Ia menjadi ibu sekaligus ayah bagi putri kecilnya. Berjuang sendiri. Tidak hanya membesarkan & memberikan kasih sayang, tapi juga sendiri dalam memenuhi kebutuhan finansial. Kami hanya bisa ikut prihatin. Satu kata dalam hati, saling sepakat untuk memberikan perhatian & dukungan lebih besar untuk Dini. Maka, meskipun saling terpisah jauh, komunikasi terus berjalan.
Seperti teman2 lain, saya juga berusaha mensuport Dini. Mencoba menemoatkan dirinpada posisinya. Paling tidak mendengarkan setiap keluh kesahnya. Apabila ke Jakarta, saya berupaya menyempatkan mampir ke rumah orang tuanya. Bahagia menyaksikan mata mereka yg berbinar menyambut, dg senyum & tatapan mata tulus. Menemani mereka ngobrol sampai larut.
Dan akhirnya terungkapkan juga. Dini bercerita suatu ketika. Dulu ibunya pernah bertanya di meja makan, kenapa saya tidak pernah mengucapkan selamat natal. Ayahnya waktu itu menimpali. “Karena itulah ayah menilai Danish anak yg baik. Agama itu esensial. Kalau itu merupakan keyakinannya & ia bisa taat, berarti ia orang baik. Bisa dipercaya”.
Belasan tahun sudah kami bersahabat. Saya tidak pernah mengucapkan selamat natal. Tapi mereka mengerti, saya adalah sahabat yg bisa dihandalkan. Ada ketika diperlukan. Persahabatan memang membutuhkan ketulusan. Ia dirambui oleh adab, akhlak, alur & patut. Ia memberi, tanpa mengharap apa yg diterima. Kami tidak pernah berdiskusi mengenai agama & keyakinan. Tapi saya sangat menghormati keluarga yg baik itu. Merasa bagian dari mereka. Bagi saya mereka bukan sekedar sahabat yg sering muncul dalam ingatan. Tapi juga ada dalam untaian doa.
Keyakinan untuk tidak mengucapkan selamat natal tidak mengurangi makna sahabat itu. Tidak mengurangi rasa hormat. Tidak mengurangi memori indah saat berinteraksi. Itu adalah salah satu cara, dari lubuk hati terdalam, dalam menyayangi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar